Karenamu Aku Bisa




Oleh: Rini Rosita

Sederet kalimat pagi ini menghiasi garis-garis di bukuku.Mingguku yang sedikit memberikan ruang,aku berikan waktu cukupku untuk menyibak kembali angan yang lama aku pendam.Di sini aku goreskan tintaku, menafakuri setiap jejak kehidupan, mencoba mencari makna dari setiap perjalanan takdir Sang Ilahi.Beginilah aku mulai menggerakkan ujung penaku mendampingi rasa yang bergelora di dalam hati.
“Mendung hari ini begitu menenteramkan.Aku masih sendiri di sini.Masih mengkhayal tentang keindahan yang sampai saat ini belum juga aku raih.Bimbang, galau, demikian anak muda sekarang menyebutnya.Tetapi, dalam kebisuanku, aku tak pernah menafakuri arti dari setiap peristiwa yang aku jalani.Sepotong episode kehidupan pribadiku tidak banyak orang yang memahami, kalau hanya sekedar melihat, hanya sisi luar mereka memahaminya.Jauh di lubuk hatiku tidak pernah menderma senyum kebahagiaan.
“Dila, kamu sedang apa?” terhenyak suara lembut itu sempat membuyarkan nikmatnya menulis di pagi ini. Panggilan Ibu dari dapur tidak dapat membuatku menuntaskan kata-kataku.Lebih penting dari sebuah kalimat, panggilan itu adalah surgaku.
“Ada apa Bu?Dila masih di kamar.Ada sesuatu yang harus diselesaikan.”Jawabku sambil menutup bukuku.
“Sini sebentar Dil, bantu Ibu memindahkan meja ini.”Pinta Ibu.
“Baik Bu,” Aku langkahkan kaki menuju tempat Ibu meminta bantuanku. Aku letakkan pena dan buku dengan rapi. Minggu depan ada lomba menulis cerita narasi. Aku ingin mengikutinya, telah lama aku ingin mengikuti berbagai lomba menulis, namun baru kali ini ada kesempatan.Bukan karena aku tidak bisa, atau karena ada yang menyela saat lomba menulis itu diadakan.Sekali lagi, karena sekarang Allah baru saja memberiku kesempatan.
“Bu, mau di taruh di mana mejanya?”Tanyaku kepada Ibu yang masih memindahkan barang yang ada di atas meja.
“Taruh di dekat kompor yang ada di depan itu saja, Dil.” Jawab Ibu. Kami hanya tinggal berdua, Ibuku adalah seorang janda. Beliau telah ditinggal Ayah sejak aku berusia lima tahun. Ayahku telah menemui Rabb-Nya.Beliau meninggal karena serangan jantung.Sejak saat itu, Ibu tidak pernah berniat untuk menikah lagi. Bagi Ibu, Ayah adalah pria terhebat dan tidak akan dapattergantikan oleh siapapun. Selain itu, Ibu ingin tetap menjadi istri yang sholehah, kelak saat pertemuan di surga-Nya, kami dapat berkumpul bersama.
Selesai mengangkat meja bersama Ibu, aku pun membantu Ibu  menyiapkan dagangan untuk esok hari. Ibuku adalah seorang pendidik.Beliau mengajar di sekolah swasta. Selain mengajar, Ibu juga berjualan es manis dan agar jelly yang dititipkan di kantin sekolah tempat Ibu mengajar. Terkadang aku juga membawanya ke sekolah untuk ditawarkan kepada teman-teman.Saat ini aku duduk di kelas sebelas.Seberapapun yang kami peroleh, Ibu selalu mengajariku arti bersyukur.
“Sedikit jika disyukuri akan menjadi berkah, belum tentu yang banyak itu terdapat keberkahan. Rasa syukur itu hanya ada pada orang-orang yang sabar dan ikhlas dalam menjalani hidup.” Begitulah nasehat Ibu tempo hari kepadaku.
“Bu, mau dibuat jadi berapa agar jellynya?” tanyaku pada Ibu.
“Seperti biasa saja Dil, soalnya sekarang ada juga yang setor agar jelly di kantin sekolah. Jadi kalau buat banyak, khawatir tidak habis.”Jawab Ibu sambil mengaduk teh yang telah dicampur dengan gula putih.
Begitulah rutinitasku dengan Ibuku setiap pagi akhir pekan.Kami selalu mengerjakan semuanya berdua.Terkadang di sela-sela kami bekerja, Ibu menceritakan kisah hidup masa kecilnya hingga bertemu dengan Ayah.Sebatas itu Ibu selalu menitikkan air mata.Aku hanya dapat menikmati segala yang diceritakan Ibu.Tidak jarang juga Ibu menceritakan tentang keadaan siswanya ataupun rekan kerjanya.Ibu memang orang yang ramah dan terbuka dengan siapapun, namun sejatinya adalah kesepian yang menghujam dalam hatinya hanya aku yang memahaminya.
Sujud malam yang sering aku lihat, Ibu tergugu dalam tafakur doa-doanya, mengharap kebaikan untuk kehidupan kami.Sering aku dengar Ibu sudah lelah dengan keadaan ini, namun karena adanya diriku, Ibu selalu merasa kuat dan memiliki semangat hidup.Tidak pernah aku menduga sebelumnya, Ibu yang aku lihat tegar dan kuat, ternyata memiliki kesedihan yang selama ini tidak aku pahami.
J
Berjejak pilu telah dia jalani, hingga kecil sampai dewasa belum pernah dia terlihat bahagia.Begitulah setiap dia terlihat di hadapanku.Masa kecilnya tidak seperti kebanyakan anak kecil yang bermain-main dengan teman-temannya.Namun, masa kecilnya dia habiskan dengan membantu orangtuanya di sawah. Dia adalah anak pertama dari lima bersaudara. semuasaudara-saudarnya pun juga membantu orangtuanya. Keluarga itu terlihat begitu keras dalam hidup. Sawah yang hanya lima petak tidak akan pernah cukup memenuhi kebutuhan setiap harinya. Maka, untuk menjaga agar dapur mengepul dan anak-anak tetap sekolah, keluarga itu memiliki usaha membuat anyaman dari bambu yang dibuat oleh Sang Ayah.Anyaman itu dibuat menjadi cikrak (serok sampah) dan kipas. Kemudian nanti akan dijual oleh anak-anaknya keliling pasar sepulang dari sekolah.
Tidak banyak memang untung yag didapatkan dari menjual anyaman bambu tersebut. Namun, cukup untuk menutup kebutuhan hidup sehari-hari, dengan mengenyampingkan keinginan.Setiap perjuangan dan pengorbanan itu selalu menghasilkan kebaikan yang baik.Anak sulung keluarga tersebut mendapat beasiswa di salah satu Universitas Negeri yang ada di Jawa selepas menyelesaikan belajar di SLTA.Sedangkan putra kedua dari keluarga tersebut direkomendasikan oleh sekolah untuk mewakili Olimpiade Matematika di Negara tetangga Singapura.Sedangkan putra ketiganya yang masih SLTP selalu mendapat juara umum di sekolahnya.Si bungsu kembar selalu mendapat juara di kelasnya. Kini si bungsu kembar sudah kelas limaSekolah Dasar. Mereka selalu mewakili sekolah untuk mengikuti berbagai macam lomba Akademis.”

“Dil, sudah makan belum?”Tanya Ibu dari ruang tengah yang sedang menyiapkan makan malam.
“Belum Bu,” jawabku sambil mengucap hamdalah karena tulisanku hampir selesai, dan besok sudah bisa dikirimkan. Bergegas aku menuju ke ruang tengah tempat Ibu menyiapkan makan malam.
“Kamu ini ngapaian saja to, Dil?Dari kemarin Ibu perhatikan kamu pulang sekolah langsung ke kamar, tidak seperti biasanya.Sudah dua hari ini juga kamu tidak menemani Ibu ke pasar.”Tanya Ibu penasaran kepadaku.
“Hehehe, Ibu pengen tidak kalau aku bisa jadi kayak Asma Nadia?” Tanyaku kepada Ibuku yang masih sibuk mengambilkan nasi untukku.
“Siapa Asma Nadia itu, Dil?”Tanya Ibu yang masih heran dengan perilakuku beberapa hari ini.
“Ah Ibu, masa tidak tahu.Itu lho bu, penulis terkenal dari Indonesia.Dan hampir sebagian besar tulisannya itu telah dibuat film, Bu.”Jelasku pada Ibu.
“Terus hubungannya sama kamu gak nemenin Ibu ke pasar apa?” Ibu juga belum mengerti.Aku hanya tersenyum geli karena melihat kebingungan Ibu.Ku dekati beliau lalu kubisikkan lembut kalau aku ingin menjadi seperti Asma Nadia.
“Oalah… apapun yang akan kamu lakukan Ibu selalu mendukung.Asalkan kamu tidak melupakan kewajiban utamamu untuk belajar.Sebentar lagi kan mau semesteran, awas kalau gara-gara kamu hanya pengen jadi seperti Asma itu, kamu jadi gak belajar.”Ceramah Ibu terdengar begitu menenteramkan di telingaku, begitulah Ibuku menasehati.Baginya sekolah adalah nomor satu agar kita dapat menjadi orang yang berguna. Ah, Ibuku… karenamu aku mampu berdiri, you’re strong woman..
“Pasti lah Bu, masa iya gara-gara nulis jadi lupa belajar.Kan nulis juga aktifitas belajar Ibu, sumber dari menulis itu dari membaca. Jadi kalau aku nulis, sudah pasti aku baca dulu, hehe..”Terangku pada Ibu.
“Sipz deh, ya sudah makan dulu. Setelah itu bantu Ibu sebentar untuk membelikan gula pasir di warung Kak Pur. Tadi lupa membelinya.” Pinta Ibu sambil menuangkan air minum di gelas kami.
“Okey Ibu sayang.” Jawabku sambil memberikan senyuman termanis.
“Bu, setelah makan Ibu mau ngapain?”Lanjutku bertanya pada Ibu.
“Memangnya kenapa? Ibu mau ngrebus air buat teh manis.” Jawab Ibu sambil mengunyah makanannya.
“Ibu, nanti tolong baca tulisanku ya? Ibu kan guru Bahasa Indonesia, hehe. Jadi kan bisa memberikan kritik dan saran.”Rayuku sambil menyimpulkan bibir manisku.
“Banyak apa dikit?”Tanya Ibu lagi.Sudah terlihat malas membayangkan membaca banyak tulisan yang berlembar-lembar.Meskipun guru Bahasa Indonesia, Ibu tidak begitu menyukai membaca, beliau hanya ingin membacanya jika menurutnya menarik.
“Gak bu, dikit kok, mungkin cuma satu halaman.”Jawabku sambil menyuapkan nasi terakhir.
“Baiklah, nanti Ibu baca.”Jawab Ibu sambil memandangku penuh dengan kehangatan.
“Makasih Ibuku yang sholehah, hehe. Tapi nanti ya Bu, aku selsaikan dulu.Tinggal endingnya saja kok,” Balasku sambil mengecup pipi kanannya dan langsung ngeloyormembawa piring kotor ke dapur untuk dicuci.Setelahnya, aku mengambil uang di tempat biasa Ibu menyimpan.Aku keluarkan sepedaku dan melaju menuju warung Kak Pur.
Sepulang dari warung, aku langsung menyelesakan tulisanku.Ibu masih menyibukkan diri dengan pekerjaan sambilannya. Kira-kira satu jam kemudian aku telah menyelesaikannya.
“Bu, sini sebentar. Tulisanku sudah jadi ni.” Panggilku pada Ibu yang masih di dapur.Beliau pun bergegas menuju ruang tengah.
“Mana tulisannya?Sini Ibu baca. Oh ya, Ibu minta tolong lagi, tadi waktu ke warung ada yang ketinggalan yang harus dibeli. Tolong kamu belikan garam dan susu coklat ya. Maaf ya sayang,” Pinta Ibu sambil tersenyum merayu.
“Baiklah Ibu sayang,” Aku pun tidak kalah memberikan senyum terbaikku.
Beriringan kepergianku,aku lihat Ibu sudah memegang buku yang aku berikan sebelum aku mengeluarkan sepedaku.Sepertinya Ibu terlihat begitu tertarik saat aku melihatnya.Dalam hatiku semoga Ibu menyukainya, dan lebih baik lagi jika Ibu mau mengkritisinya.
J
Di ruang tengah itu aku melihat Ibu menitikkan air mata, tidak terasa butirannya semakin deras mengalir.‘Apakah ada hal yang membuatnya sedh atau bahagia, hingga beliau tidak sanggup membendung air matanya.’Batinku bertanya. Masih aku perhatikan beliau,baris demi baris beliau baca dengan telaten, dengan penuh perasaan penasaran, aku masih memperhatikannya, terlihat beliau berusaha untuk menyelami apa yangada pada tulisanku.

Semangatku adalah Inspirasi Kebahagianku
Mendung hari ini begitu menenteramkan.Aku masih sendiri di sini.Masih mengkhayal tentang keindahan yang saat itu belum juga aku raih.Bimbang, galau, demikian anak muda sekarang menyebutnya.Tetapi, dalam kebisuanku, aku tidak pernah menafakuri arti dari setiap peristiwa yang aku jalani.Sepotong episode kehidupan pribadiku tidak banyak orang yang memahami, kalau hanya sekedar melihat, hanya sisi luar mereka memahaminya.Jauh di lubuk hatiku tidak pernah menderma senyum kebahagiaan.
Saat ini, akanaku kisahkan kepada kalian bagaimana senyum yang tidak pernah menyapaku, kini berubah menjadi simpul indah di bibir yang tidakpernah lari dari keadaan apapun. Tidak akan pernah aku temui bahagia sedalam ini. Setelah aku mengilhami hakikatnya, ternyata rasa syukurlah yang selama ini tidak pernah aku pikirkan. Waktu indah masa lalu tidak pernah aku tahu jika akan berujung pada ujian tiada akhir saat ini. Ini adalah sebuah cerita hidup dari seseorang yang luar biasa di mataku.Darinya aku belajar tentang arti rasa syukur, sabar, dan ikhlas.Perjuangan dan pengorbanan tiada akhir.Seperti inilah aku mengisahkan..
Berjejak pilu telah dia jalani, hingga kecil sampai dewasa belum pernah dia terlihat bahagia.Begitulah setiap dia terlihat di hadapanku.Masa kecilnya tidak seperti kebanyakan anak kecil yang bermain dengan teman-temannya.Namun, masa kecilnya dia habiskan dengan membantu orangtuanya di sawah. Dia adalah anak pertama dari lima bersaudara, Fatimah Sholehah namanya.Semua audara-saudarnya pun juga membantu orangtuanya.Keluarga itu terlihat begitu keras dalam hidup. Sawah yang hanya lima petak tidak akan pernah cukup memenuhi kebutuhan setiap harinya. Maka, untuk menjaga agar dapur mengepul dan anak-anak tetap sekolah, keluarga itu memiliki usaha membuat anyaman dari bambu yang dibuat oleh Sang Ayah.Untuk dibuat menjadi cikrak dan kipas. Kemudian nanti akan dijual oleh anak-anaknya keliling pasar sepulang dari sekolah.
Tidak banyak memang untung yang didapatkan dari menjual anyaman bambu tersebut.Namun, sudah cukup untuk menutup kebutuhan hidup sehari-hari, dengan mengenyampingkan keinginan.Setiap perjuangan dan pengorbanan itu selalu menghasilkan kebaikan yang baik.Anak sulung keluarga tersebut mendapat beasiswa di salah satu Universitas Negeri yang ada di Jawa.Sedangkan putra kedua dari keluarga tersebut direkomendasikan oleh sekolah untuk mewakili Olimpiade Matematika di Negara tetangga Singapura.Sedangkan putra ketiganya yang masih SLTP selalu mendapat juara umum di sekolahnya.Si bungsu kembar selalu mendapat juara di kelasnya. Kini Si bungsu kembar sudah kelas limaSekolah Dasar. Mereka selalu mewakili sekolah untuk mengikuti berbagai macam lomba Akademis.
Pak Ahmad dan Ibu Khadijah, begitulah sapaan masyarakat, telah berhasil mendidik putra putrinya menjadi teladan yang baik untuk masyarakat.Meski dengan tertatih mereka membesarkannya dengan keadaan yang sangat terbatas, namun bagi mereka pendidikan adalah nomor satu. Secara materi mereka menyadari tidak pernah memberikan lebih untuk putra-putrinya, namun mereka hanya akan mewarisi keilmuan yang telah mereka berikan dengan pendidikan terbaik selama ini. Karena kerja keras mereka, masyarakat pun sekarang menjadi melek pendidikan.
Fatimah, Ibrahim, Hafsah, dan si bungsu kembar Hasan dan Husin adalah anak-anak yang luar biasa. Kini mereka telah tumbuh dewasa dan menjadi orang-orang yang disegani oleh siapapun yang berhadapan dengan mereka.Fatimah, kini telah menjadi seorang guru di sekolah swasta ternama di kotanya, sedangkan Ibrahim menjadi dosen di Universitas tempat dia mendapatkan beasiswa.Hafsah menjadi arsitektur, si bungsu kembar mengembangkan usaha orangtuanya memasarkan hasil kerajinan tangan, dan kini telah merambah sampai ke luar negeri.
Tidak akan pernah ada yang menyangka bagaimana kehidupan masa lalu yang begitu melelahkan, kini terbalaskan dengan kebanggaan yang tidak akan pernah habis oleh tetesan peluh dan keringat. Rasa syukur senantiasa meliputi keluarga Pak Ahmad dan Istrinya.
Inilah kisah kebaikan tiada akhir, aku selalu belajar bersyukur atas apa yang aku dapat saat ini. Meski keinginanku banyak yang belum aku peroleh, tetapi setidaknya aku dapat menjadi orang yang bermanfaat untuk orang lain. Semangatku saat ini hanyalah sebatas bagaimana aku akan menjalani kehidupan ini. Akankah tetap semangat atau bahkan pudar seiring dengan kisah hidupmemilukan?Tidak ada yang dapat menjamin bagaimana akhir dari hidup ini.Tujuan kita hanyalah satu, semua yang telah kita lakukan tetaplah bermuara kepada-Nya. Tuhanku, Robb-ku, Kekasih-ku..ma fi qolbi ghoirullah...

“Assalamu’alaykum..Bu,” Salamku pada Ibu.Namun tidak juga ada jawaban.Setelah aku letakkan gula di meja dapur, aku menemui Ibu di ruang tengah. Sesampainya di sana, aku melihat Ibu masih memegang bukuku.
“Bu, gimana tulisanku?” Tanyaku pada beliau.Yang ditanya malah merangkulku sambil menangis. Aku pikir apa ada yang salah ya..
“Ada apa,Bu?”Belum sempat aku melanjutkan kalimatku, Ibu menciumiku dengan hangat.
“Terimakasih ya Allah, kau anugerahi aku putri yang begitu menyejukkan hatiku..” sambil merangkulku Ibulirih berbisik doa. Tidak terasa hatiku bergetar dan runtuhlah butiran bening dari mataku.
J
Setelah Ibu membaca tulisanku malam itu, Ibu semakin memberiku dukungan untuk selalu menulis.Beliau menyukai tulisanku, meskipun masih banyak yang harus diperbaiki.Tetapi beliau bersedia memberikan perbaikan untuk tulisanku.Aku pun semakin semangat menulis.Hari ini adalah penyetoran naskah kepada panitia lomba.Ditemani ibu, aku mengantarkan berkas ke tempat yang direkomendasikan oleh panitia.
Sepulang dari mengantarkan berkas, aku menemani Ibu ke pasar untuk belanja.Ini adalah hari bahagiaku setelah beberapa hari aku tidak menemani Ibu berbelanja.Malam itu, aku masih heran kenapa Ibu begitu terharu saat membaca tulisanku.Namun, aku belum juga menanyakan itu pada Ibu.Hingga pagi tadi setelah sarapan, aku memberanikan diri untuk bertanya.
“Bu, memangnya semalem Ibu kenapa menangis, saat membaca tulisanku?”Aku mulai bertanya.
“Oh itu, hehe..maaf ya Dila, Ibu terharu dengan tulisanmu yang berbentuk narasi itu. Seperti nyata saja kamu mengisahkan kehidupan itu.Ibu merasa seolah adalah pelakunya saat membacanya.Dari mana kamu dapat inspirasi bercerita seperti itu?” kini Ibu malah balik bertanya kepadaku.
“Aku terinspirasi dari Ibu. Ibu yang selalu bercerita tentang kehidupan masa kecil, Ibu yang selalu mengajariku tentang arti rasa syukur, dan Ibu juga yang selalu membuatku menjadi orang yang kuat.” Panjang aku menjawab pertanyaan Ibu. Mata Ibu pun berkaca-kaca seolah akan tumpah. Namun, aku segera mengalihkannya dengan mengajaknya segera mengantarkanku ke tempat pengumpulan naskah.
Begitulah usahaku untuk membuat Ibu selalu tersenyum dan bahagia, sehingga beliau dapat melupakan kesepian dan kesendiriannya tanpa kehadran Ayah selama ini. Narasi yang aku buat untuk lomba itu, sebenarnya adalah tulisanku yang paling indah yang pernah aku buat untuk Ibu.Aku berharap semoga aku mendapatkan nilai terbaik untuk penyeleksiannya. Jika aku lolos seleksi, maka aku akan mendapatkan kontrak menulis setiap bulannya. Setidaknya dengan tulisanku, aku dapat membantu Ibu dalam memenuhi kebutuhan hidup kami setiap hari.
Teringat akan salah satu ayat al-Qur’an dari surah Ar-Rahmaan yang selalu diulang-ulang, hingga aku terkadang tidak mampu untuk mengkritisi Allah dalam hal apapun, “Maka, nikmat Tuhan kamu yang manakah yang kamu dustakan?”
Dari-Nya aku diajari untuk tidak berputus asa, dari-Nya juga aku diajari untuk selalu ikhtiar dalam berbagai hal, dan dari-Nya aku diajari untuk selalu berdoa dan memohon kepada-Nya.Tuhanku, Robb-ku, Kekasih-ku..ma fi qolbi ghoirullah...
Comments
0 Comments

Untuk Pemesanan Bisa Hubungi Kami Melalui

SMS / TELPON / WA 083170596308 BBM : D4A552CE